kompas.com. Dua mahasiswa D3 Teknik Telekomunikasi Politeknik Elektronika Negeri
Surabaya (PENS) ITS, Debi Praharadika dan Eko Wahyu Susilo, menciptakan
komputer bersistem Linux yang dirancang khusus untuk tunanetra dalam
bahasa Indonesia.
"Pembuatan sistem operasi Linux untuk orang
buta itu membutuhkan perjuangan keras karena harus mulai dari nol dengan
membuat algoritma sendiri, kemudian keyboard-nya juga khusus dengan
tombol huruf braille," kata Debi di Surabaya, Selasa.
Secara garis besar, katanya, cara kerja Linux Tunanetra yakni mengomunikasikan hasil ketikan keyboard ke dalam format suara.
"Jadi,
bila ada suatu naskah diketik dengan keyboard braille maka akan
dihasilkan suara sesuai naskah yang diketikkan. Penanganan yang sama
juga berlaku ketika komputer hendak dimatikan," katanya.
Namun,
katanya, kendala membuat Linux Tunanetra adalah saat membangun database
suara yang terdiri atas Natural Language Processing (NLP) dan Digital
Signal Processing (DSP).
"NLP merupakan kata yang dipotong-potong
sesuai bahasa Indonesia. Kita harus merekam satu persatu konsonan,
kemudian menggabungkannya sendiri hingga menjadi sebuah kata," ujarnya.
Oleh
karena itu, ia berharap program yang diciptakannya itu bisa
dimanfaatkan masyarakat luas, terutama kaum tunanetra yang sangat
membutuhkan.
"Ide untuk membuat terobosan itu bermula saat saya
ditanya ibu yang kebetulan mengajar di Sekolah Luar Biasa (SLB)
Tunagrahita. Ibu bertanya, apakah ada komputer untuk kaum tunanetra,"
katanya.
Dari pertanyaan ibundanya itulah, Debi akhirnya berniat
untuk membuat program Linux bagi tunanetra, kemudian dia mengajak Eko
untuk mewujudkannya melalui Tugas Akhir (TA) mereka.
"Kami tak
ingin mengomersilkan terobosan itu, karena itu kami memilih Linux
sebagai alternatif," kata mahasiswa yang akan diwisuda pada 12-13
Oktober itu.
Dilindungi Genuine Public License (GPL), karya
mereka dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. "Silakan saja kalau
ingin memodifikasi, mengopi, dan menyebarluaskan program Linux
tersebut," katanya.
Ia menambahkan, hasil "searching" internet
sebenarnya sudah ada orang yang menemukan produk serupa, tapi penemuan
itu hanya dalam bahasa Inggris.
"Saya yang mengurusi system user
interface, sedangkan Eko yang mengembangkan text to speech dalam bahasa
Indonesia," katanya.
0 komentar:
Posting Komentar
Jangan lupa komentarnya :)